Fajar, Matahari, dan Kita



 Apakah ini cerita tentang kita? Atau ini cerita tentangmu? Entahlah, aku akan katakan bahwa ini cerita tentangku, tentang mimpi tak berujung, tentang ambisi tidak berkesudahan, tentang cinta teramat dalam, tentang air mata yang mengering di pipi, tentang luka yang tak pernah kering, tentang rindu yang membuat nafasku tersengal, tentang kecerdasan, tentang kemandirian, tentang keteguhan hati, dan tentang masa depan yang ku kejar merangkak.
Aku bingung memulai darimana. Jadi kuputuskan bahwa aku akan memulai dari diriku. Kurasa itu yang paling sederhana.
Aku adalah bunga bagi kedua orang tuaku. Cantik, tentu saja. Setidaknya itulah yang ibu dan nenekku katakan. Tetapi aku tidak pernah sekalipun merasa cantik. Bagaimana tidak? Jelas saja, kakakku adalah seorang perempuan yang fashionable, tentu dia lebih cantik. Adikku adalah seorang model, pasti lebih cantik. Aku tidak secantik mereka, tetapi setidaknya aku lebih anggun, lebih matang dalam banyak hal.
Kata banyak teman, mataku bagus. Aku yakin kau akan setuju, mungkin sangat setuju. Mata inilah yang awalnya membuatmu tertarik padaku. Bulu mata lentik dengan cahaya yang tajam, tatapan teduh, dan pandangan tegas. Apa katamu? Mungkin benar, mataku memperlihatkan bahwa aku perempuan sederhana dengan kecerdasan, prinsip dan keteguhan hati.
Aku akan memberitahukan padamu satu rahasia, mengapa mataku bisa begitu. Aku terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Rumahku selalu ramai, bukan hanya karena jumlah kami yang banyak, tetapi juga karena perang yang tiada berkesudahan. Perang antara ibu dan ayahku. Seingatku, mereka tidak pernah akur. Hingga detik ini aku masih heran, dengan berperang setiap hari begitu, bagaimana mungkin anaknya bisa berjumlah empat orang? Entahlah. Tumbuh dalam keluarga yang keras kepala, mendidikku menjadi seorang yang keras kepala pun keras hati. Sejak kecil aku terbiasa dengan ‘iya’ atau ‘tidak’, bukan ‘iya dan tidak’.
Saat usiaku dua belas tahun, tepatnya ketika aku lulus dari sekolah dasar, aku memutuskan untuk meninggalkan rumah, seperti kakakku. Aku dan dia kemudian tinggal berdua di rumah sewa di provinsi yang jauh dari orang tuaku. Usia kakakku saat itu 16 tahun. Jangan cemas, ini bukan cerita tentang kenakalan remaja.
Aku dan kakakku adalah anak yang mencintai ibunya, kami anak yang baik, meski tidak dapat didikte. Kami mampu membedakan benar atau salah, mampu menjauhi hal buruk dan melakukan hal baik, sungguh. Masalah yang sering kami berikan kepada ibu hanya jika pilihan kami bukanlah pilihan yang ibu inginkan untuk kami pilih. Jika sudah seperti itu, aku ataupun kakak harus menghadap, bukan untuk melawan, tetapi untuk mendiskusikan mengapa dan bagaimana. Sehingga ibu mampu memahami setiap pilihan yang kami ambil dan rencana-rencana masa depan yang harus segera diwujudkan. Pada dasarnya, ibu adalah pribadi yang sangat demokratis. Selama pilihan itu tidak melanggar nilai-nilai etika dan moral dan yang terpenting tidak melanggar nilai-nilai agamis, maka beliau akan setuju.
Aku tumbuh menjadi remaja yang anggun, lembut, tegas, bijaksana, idealis, dan memiliki pemahaman yang baik. Pengalaman masa kecil yang menyematkan kenangan tidak mengenakkan membuat aku dan kakak benar-benar jauh dari laki-laki dan segala sesuatu berbau romansa percintaan. Aku tumbuh menjadi perempuan berhati beku. Aku melihat laki-laki sebagai pengganggu, penghambat langkah dan rencana-rencanaku. Hasilnya adalah aku sibuk dengan berbagai kegiatan dan segudang prestasi akademis dan non akademis. Aku merasa cukup mampu untuk hidup tanpa teman, aku merasa mampu hidup dengan mengandalkan kemandirian dan keteguhan hati.
Laki-laki mana yang tidak akan tertarik dengan perempuan sepertiku?

Leave a Reply